Dalam pemilu, ada kecenderungan pemberitaan pers akan dijadikan sebagai arena ‘horse-race reporting’, yaitu pemberitaan yang bernuansa pacuan kuda. Menurut David S Broder, wartawan politik senior Washington Post, dalam horse race journalism, seluruh cerita jurnalisme didominasi dan ditekankan pada unsur siapa menang – siapa kalah, dan mengabaikan substansi (pemilu) yang terjadi (process stories predominate, and the emphasis is on who is gaining or losing, not on what is being done). Model liputan pemilu di AS pada dekade 1970-an, menurut David Broder tidak lagi mempedulikan soal program, tapi lebih mengutamakan mencari kisah strategi, taktik dan trik-trik kandidat untuk memenangkan pemilu.
Kecenderungan diatas akan mengakibatkan isu lainnya yang juga sama pentingnya akan terabaikan seperti partisipasi politik perempuan, isu lingkungan hidup, good governance dan politisi busuk. Isu-isu ini terabaikan dan tidak menjadi agenda media pers karena media pers ternyata lebih memerankan diri sebagai “penyalur suara parpol”.
Dalam meliput setiap peristiwa politik, terlebih seperti Pemilu Kepemimpinan Lokal 2009, media pers sebenarnya dituntut untuk menjalankan empat (4) peran utama. Pertama, mensosialisasikan sistem pemilu yang baru, kedua melakukan pendidikan politik ke khalayak, ketiga memantau proses pemilu dan keempat melakukan advokasi untuk kelompok-kelompok marjinal (kelompok yang tersingkirkan). Peran pertama sering juga disebut votter information. Di sini media pers berperan menyediakan informasi berkaitan dengan regulasi yang mengatur penyelenggaraan pemilu. Regulasi itu semisal menyangkut hak-hak warga sebagai pemilih (bagaimana sistem regristasi pendaftaran pemilih), regulasi kampanye (apa saja bentuk kampanye pemilu, sanksi bagi yang melanggar dsb), pemungutan suara, perhitungan suara dsb.
Peran pendidikan politik dapat dilakukan media pers dengan mendorong warga agar menjadi pemilih yang rasional, bukan pemilih tradisional yang gampang dipengaruhi dengan isu-isu primordial. Pers juga dapat mendorong warga untuk menjadi pemantau pada setiap tahapan pemilu. Mengulas track record kandidat dan kelompok yang mendukungnya, termasuk mengkritisi platform politik kandidat.
Peran pemantauan dilakukan media pers pada seluruh tahapan pemilu. Hal ini mengingat bahwa pemilu yang demokratis adalah pemilu yang minimal dari pelanggaran-pelanggaran. Baik pelanggaran adminsitrasi maupun pidana.
Sedangkan peran advokasi, terkait dengan asas penyelenggaraan pemilu yang mengusung prinsip inklusifitas. Dalam arti setiap warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, atas nama perbedaan apapun, berhak memperoleh perlakuan yang sama sebagai calon pemilih. Oleh karena itu walaupun orang tersebut tergolong masyarakat terasing, berstatus sosial yang tidak jelas, menganut ideologi politik yang berbeda dengan ideologi mainstream, bahkan memiliki kemampuan yang berbeda, tanpa kecuali harus diakui hak-haknya secara politik. Seperti kaum difable (different abilities) sering tidak dapat menggunakan hak pilih mereka karena minimnya bekal informasi tentang pemilu yang mereka terima, sampai minimnya akses mereka ke bilik suara pada hari pencoblosan. Selain kaum difabel, masih ada juga kelompok marjinal dalam masyarakat yang suaranya kerap tak dianggap dalam pemilu. Misalnya kaum usia lanjut, kaum buruh, dan kaum perempuan.
Mendorong Agenda Perempuan di Media Pers
Pemberitaan pers juga terkesan menjadi saluran kepentingan kandidat dan ini sekaligus meneguhkan bahwa pihak yang kuat (secara politik dan uang), memiliki resources untuk dapat menempatkan agendanya di media. Akibatnya kepentingan publik, apalagi yang tidak mempunyai resources seperti masyarakat marjinal, terabaikan dalam pemberitaan media pers.
Setali tiga uang dengan pemberitaan yang berhubungan dengan isu dan kepentingan perempuan. Kalaupun ada pemberitaan terhadap isu atau kepentingan perempuan, intensitasnya sangat rendah. Media pers tampaknya lebih banyak menerapkan kebijakan pemberitaan yang bersifat momentum. Artinya, berita tentang isu atau kepentingan perempuan hanya muncul jika ada peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas perorangan/kelompok perempuan. Misalnya ketika kelompok perempuan mengadakan seminar atau melakukan aksi dalam rangka memperingati hari perempuan dunia belum lama ini. Hal ini sebenarnya tidak lepas dari pola pemberitaan media pers yang memiliki karakteristik lebih mengedepankan berita peristiwa yang lebih merupakan agenda setting pihak lain.
Persoalannya, apa strategi yang harus dilakukan kaum perempuan agar isu-isu atau kepentingan kaum perempuan menjadi agenda setting media dalam pemilu Kepemimpinan Lokal 2009?
Berikut ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk membangun agenda setting kaum (isu) perempuan dalam media pers:
- Kalangan aktivis perempuan harus memperbanyak momentum kegiatan agar lebih sering diekspose media pers. Strategi ini ditempuh mengingat pola pemberitaan media pers di Timor Leste lebih menitikberatkan pada berita peristiwa, daripada memunculkan agenda setting media itu sendiri.
- Aktivis perempuan seyogyanya dapat membangun sinergi dengan jurnalis perempuan agar mereka lebih intensif mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan perempuan dan memperbanyak berita yang dikonstruksi dari suara-suara kaum perempuan akar rumput.
- Media massa sering disebut-sebut berwajah maskulin, sebuah terminologi yang lekat dengan kaum lelaki. Dalam hal ini diyakini pandangan dan subjektivitas laki-laki akan dipergunakan untuk meneropong sesuatu, termasuk terhadap isu atau berbagai peristiwa yang muncul selama penyelenggaraan pemilu. Singkatnya segala sesuatu diukur dengan menggunakan takaran “laki-laki”. Menghadapi problematika seperti ini, ada baiknya jika aktivis perempuan memperkuat perspektif gender, khususnya di kalangan jurnalis pria, yang kebanyakan diberi tugas untuk melakukan liputan politik.
- Aktivis perempuan seyogyanya juga aktif membuat siaran pers, konferensi pers atau menulis artikel opini untuk menyuarakan kepentingan mereka. Mereka juga harus aktif dan kreatif mengisi berbagai rubrik yang ada sebagai media menyuarakan kepentingan perempuan, misalnya menulis untuk rubrik surat pembaca, info publik dan sebagainya.
Sekali lagi, sebagai tiang ke-empat dari demokasi maka diperlukan ditumbuh kembangkan institusi pers yang bebas karena pers yang bebas merupakan oksigen demokrasi. Ini berarti antara pers dan demokrasi saling menghisupi dan tidak bisa saling dimatikan. Karena itu ketika pers sengaja mengabaikan suara kaum marjinal, seperti mengabaikan isu dan kepentingan perempuan, maka pers hakikatnya telah mencederai demokrasi.
*Rede Feto/ICP 092009- dirangkum dari berbagai sumber
Dapatkan Panduan Bina Otot Badan Lelaki Disini Agar Anda Lebih Macho, Tegap Dan Bertambah Kacak....Hehe...
ReplyDeleteJangan Segan2..Realisasikan Badan Impian Anda.....